FREEPIK

Perlu disusun ulang anggaran dengan kondisi harga yang terbaru.

Pandemi Covid-19 tampaknya sudah mulai mereda di beberapa negara, karena banyak sudah yang melonggarkan protokol kesehatan mereka. Tapi keadaan itu tidak beriringan dengan ekonomi dunia yang banyak mengalami inflasi.

 

Amerika Serikat mengalami inflasi tertinggi selama setahun terakhir, kemudian 19 negara yang menggunakan mata uang euro mengalami rekor inflasi pada April 2022 ini. Melihat hal itu, Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi inflasi negara berkembang bisa naik.

Penyebab kenaikan inflasi dunia ini dipicu karena konflik antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan gangguan pasar komoditas global. Selain itu, kenaikan harga energi dan pangan menambah tekanan inflasi di sejumlah negara.

 

Indonesia sebagai negara berkembang, juga bisa mendapat ancaman tersendiri akibat inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan laju inflasi nasional sepanjang Maret 2022 tembus 0,66 persen.

 

Angka inflasi itu tercatat merupakan yang tertinggi sejak Mei 2019 lalu yang sempat mencapai 0,68 persen. Minyak sawit mentah atau /crude palm oil/ (CPO) menjadi salah satu komoditas pangan penyumbang inflasi di dalam negeri.

frank busch/UNSPLASH

Apakah ini alarm bahaya untuk ekonomi keluarga Indonesia? Tepatkah berbondong-bondong mulai fokus berinvestasi sebagai bentuk antisipasi? Perencana keuangan Tatadana Consulting, Diana Sandjaja, menjelaskan inflasi akibat kenaikan harga-harga yang menyebabkan nilai uang rupiah menurun.

 

Hal ini tidak dapat dihindari sepenuhnya. Meskipun untuk pegawai yang bergaji rutin bulanan biasanya mendapat kenaikan pendapatan juga. Untuk pedagang atau wirausahawan biasanya mengikuti dengan menaikan harga jual, agar selisih laba diharapkan mampu menutup inflasi yang terjadi.

 

Namun hal-hal yang dilakukan itu belum tentu bisa menutup jurang pemisah kenaikan harga akibat inflasi dengan pendapatan yang dimiliki. “Jika gap semakin lebar dan penghasilan belum bisa diharapkan menutup gap itu, maka mau tak mau menyusun ulang anggaran dengan kondisi harga lapangan yang terbaru, perlu dilakukan,” ungkap Diana saat dihubungi Republika.

 

Salah seorang warga Depok, Nurfitri Budiapriyanti (30 tahun), memilih berinvestasi emas sejak dulu. Selain minim risiko, berinvestasi emas bagi dia lebih mudah dikelolanya. “Siapa aja bisa berinvestasi emas. Bahkan bisa dengan modal Rp 1 juta saja. Saya pertama beli logam mulia itu lima gram, dan sekarang saya taruh di brankas rumah saja,” papar dia saat dihubungi Republika akhir pekan lalu.

Siapa aja bisa berinvestasi emas. Bahkan bisa dengan modal Rp 1 juta saja. Saya pertama beli logam mulia itu lima gram, dan sekarang saya taruh di brankas rumah saja.

Nurfitri enggan menyebutkan berapa jumlah emas yang ada di dalam brankas rumahnya. Yang jelas tidak terlalu besar dan dia baru mau menjualnya sekitar 5-10 tahun mendatang, sebagai tambahan juga untuk biaya keperluan tiga anaknya.

 

Namun, dalam jual beli emas ini, penting juga untuk memantau harga emas secara berkala. Menurut Nurfitri, emas ini adalah salah satu investasi yang tidak terpengaruh pada inflasi.

 

Jika hendak berinvestasi emas, maka sebaiknya mengoleksi emas murni logam mulia dan bukan emas perhiasan. Untuk emas 24 karat, perhatikan juga sertifikatnya sehingga emas yang kita beli akan terjamin terus kualitasnya.

 

Emas juga bisa menjadi alat lindung nilai atau menjaga nilai kekayaan agar tidak tergerus inflasi. Tapi ini juga tergantung pada tujuan investasi emasnya, jika hanya sebagai alat lindung nilai maka ketika semua normal bisa dilikuidasi, namun jika ingin untung maka harus disimpan hingga lima tahun atau lebih.

FREEPIK

Bagaimana jurus investasi yang tepat saat inflasi tinggi? Perencana keuangan Tatadana Consulting, Diana Sandjaja menyarankan agar berinvestasi pada instrumen yang hasilnya diharapkan lebih tinggi dari inflasi. Namun untuk dapat menghasilkan pundi maksimal, maka perlu strategi investasi yang salah satu komponennya adalah horizon (jangka waktu) investasi. “Karena kita perlu memiliki dana darurat terlebih dahulu, agar kita tidak sembarangan mencairkan investasi saat ada kebutuhan mendadak,” ujar Diana.

 

Keadaan inflasi yang dialami tentu makin menyadarkan kita kalau inflasi itu nyata dan kita perlu berinvestasi agar nilai kekayaan tidak ikut terberai inflasi. Tidak hanya itu, berinvestasi juga untuk tujuan di masa depan asalkan memilih instrumen yang tepat.

Olieman eth/unsplash

Dari berbagai instrumen investasi, harus pilih yang cocok. Karena jika tidak memilih yang cocok, maka ketika kita stop melakukan investasi tujuan keuangannya juga terancam gagal diraih.

 

Adakah investasi yang bisa mengalahkan angka inflasi? Kalau emas, ini jangka panjang baru terlihat hasilnya karena ada gap harga jual dan beli. Sementara investasi lain, tidak hanya bisa dilakukan saat inflasi saja. “Reksadana pasar uang, reksadana saham, saham, obligasi ritel. Tapi itu semua nggak harus saat kondisi inflasi saja ya, kondisi umum pun sama saja,” papar Diana lagi.

top

Pilih Instrumen yang Tepat

Siasati Anggaran

Saat terjadi inflasi, kita perlu menyiasati anggaran yang menipis namun kebutuhan tetap sama.

 

Hal tersebut dilakukan untuk kebutuhan-kebutuhan di luar kebutuhan primer dan prioritas. Tidak hanya pengeluaran yang diatur ulang, namun diharapkan juga bisa lebih jeli lagi melihat peluang yang bisa menambah pendapatan.

 

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang ada. Berikut tip dari perencana keuangan Tatadana Consulting, Diana Sandjaja.

 

1. Menurunkan kualitas.

2. Menjarangkan kegiatan.

3. Mencari subtitusi kegiatan dengan yang lebih terjangkau.

4. Menghilangkan kegiatan bila tidak perlu

Habis Pandemi Terbitlah Inflasi

Tepatkah Berinvestasi?